Tidak ada terbersitpun kalau saya bakal menginjakkan kaki di daerah yang merupakan tumpukan humus diatas air (red=gambut). Awal cerita, pada tanggal 20 Februari 2013
saya sampai disebuah sekolah diantara hamparan permadani hijau, yach tanah yang
begitu subur. Rasa lelah setelah
menempuh perjalanan yang begitu jauh, hamper 3 jam dari pusat kota kabupaten
dengan jalan yang lumayan menyita kosentrasi tinggi. Kami datang bersebelas
orang setelah kulonuwun di rumah kepala desa, dilanjutkan kesekolah yang
dituju. Pengalaman pertama yang kami
alami adalah begitu kami mengambil air wudlu ternyata airnya berwarna coklat
seperti susu coklat namun begitu lidah menyentuhnya serasa garam satu sendok
ada di mulut, pantaslah daerah ini dinamakan Banyuasin.
Setelah kami diterima oleh sekolah maka
agenda kami yang pertama adalah mencari tempat kos atau kontrakan, setelah saya
berputar-putar kesana kemari mencari tempat kos ternyata tidak ada tempat dapat
menjadi tempat kos, maka saya menjadi primus alias pria mushola. Pada hari
kedua dan ketiga saya bermalam disekolah dan selama beberapa malam menumpang
nginap diteman guru. Sepulang ngajar saya menemui bapak ahyat beliau bersedia
membangunkan saya bedeng untuk saya kontrak, selama sepuluh hari sambil
menunggu bedeng alhamdulillah saya diberi tumpangan untuk menginap ditempat
bapak Iman Slamet beliau adalah guru SD yang dulu ikut program transmigrasi,
setelah bedeng jadi rencana saya mau menempatinya tak taunya datanglah teman
guru dari jawa timur dia datang bersama ibunya dan anak perempuannya yang masih
kecil, akhirya urung saya menempati bedeng yang baru selesai, dan harus menunggu
dibangunkan bedeng lagi. Akhirnya saya masih harus tinggal numpang di tempat
pak Slamet yang masih mengijinkan tinggal disana, sebelumnya saya sudah minta
pamit untuk pindah ke bedeng, semoga amal baiknya dibalas yang setimpal oleh
Allah aamiin.
Hal yang menarik dari tempat ini adalah
sepanjang mata memandang adalah hamparan sawah yang luas berhektar-hektar. Kemudian
masyarakatnya yang heterogen karena masing-masing RT biasanya merupakan warga
transmigrasi yang berasal dari daerah yang sama. Jadi disitu ada kampong Tegal,
ada kampong Cilacap, kampong Ngawi, kampong Sumedang, Blitar, Bali, melayu, Bugis
dan masih banyak lainnya. Jadi serasa ada
Indonesia mini dikawasan ini, namun anehnya bahasa sehari-hari memakai bahasa
jawa jadi selama saya tinggal disitu serasa masih di jawa. Hal yang menarik
lainnya yaitu cara menanam padi disini di kampong halamanku sudah lama
diterapkan tanam padi jejer legowo, disini masih ditanam tidak disemai terlebih
dahulu tetapi ditaburkan kesawah dan tumbuh sampai panen. Kemudian fenomena yang menakjubkan yang
pertama kulihat disitu adalah ketika menjelang sore pekarangan rumah berubah
menjadi danau, karena air pasang dari saluran/sungai yang sengaja dibuat untuk
mengatasi air pasang. Masih banyak dijumpai satwa yang dijawa sudah sulit
dijumpai, biawak sebesar buaya bahkan disungai-sungai tertentu masih banyak
buayanya. Jika saya pingin makan lauk
ikan maka hanya dengan modal anak katak tiga ekor bisa membawa pulang ikan yang
bisa untuk lauk selama tiga hari, hem surge buat para hobi mincing.
Budaya masyarakat didaerah tersebut beraneka
warna karena penduduk transmigrasi masih memelihara budaya dari daerah mereka
berasal. Apabila kita menjumpai banyak
pura diperumahan penduduk sudah dipastikan mereka berasal dari Bali, kalau di
dalam rumah ada perlengkapan kuda lumping kemungkinan pasti berasal dari daerah
jawa. Kendala para siswa didaerah itu
adalah inprastruktur yang masih kurang, jalanan yang apabila hujan tiba sukar
dilalui sehingga sering siswa sampai disekolah baju seragamnya penuh lumpur,
serta jarak sekolah kerumah siswa yang terlalu jauh. Kemudian tingkat pendidikan orang tua murid
yang masih rendah sehingga kepedulian terhadap anaknya untuk sekolah sangat
kurang. Anak lebih baik membantu kerja
orang tua di sawah daripada sekolah. Problem
siswa yang lain adalah tingkat berhitung mereka yang masih sangat lemah jadi
untuk pelajaran produktif yang ada hitungannya harus mengulang mengajari
matematika padahal itu matematika dasar, perkalian, pembagian, dan pecahan
dasar. Kasus berhenti sekolah kebanyakan
disebabkan oleh factor ekonomi padahal sekolah sudah digratiskan, karena
transportasi disana sehari anak-anak ada yang menghabiskan uang Rp. 25.000
untuk biaya transportasi. Sebagian lagi karena masalah broken home.
Kelebihan siswa di daerah trans adalah
semangat kerja mereka yang tinggi, serta kepatuhan terhadap guru lumayan
bagus. Kenangan belajar bersama mereka akan
selalu teringat, ktika anak praktik pemijahan ikan mereka bermalam disekolah
karena tempat kost saya dekat sekolah sering kita bakar-bakar ikan bareng
setelah kami lomba mancing. Kemudian ketika beranjang sana kesekolah lain
dengan naik ketek/perahu orang sana menyebutnya bus air, yach karena
transpotasi airlah yang utama disana
untuk kedaerah lain disana. Karena daerah perairan daratan dikelilingi banyak
sungai.
Namun sayang tidak lama saya menjalankan
tugas dinegeri tanah gambut ini karena saya dipindahtugaskan ketempat yang
baru, dipusat ibu kota kabupaten. Itulah sekelumit ceritaku pertama kali bertugas
mengabdi demi anak bangsa didaerah eks transmigrasi, lain waktu disambung lagi….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar